Rabu, 29 April 2015

SEJARAH Nasionalisasi Perusahaan Belanda dan Asing

Pada tahun 1953 Pemerintah Indonesia menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) menjadi Bank Indonesia (BI). Sebelumnya, pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki Bank Negara Indonesia (BNI) yang dibentuk pada tahun 1946, namun tidak diberi kesempatan untuk menjadi bank sirkulasi dan bank sentral sebagaimana hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 (Budiman Ginting, hal 101 dalam Jurnal Equality Vol. 12 No. 2 Agustus 2007).


Sebelumnya, dominasi perusahaan Belanda sudah coba diatasi dengan mendirikan perusahaan-perusahaan negara yang diharapkan mampu menunjang pemulihan ekonomi nasional, dengan mendirikan Central Trading Company pada tahun 1948. Selain mendirikan perusahaan-perusahaan negara, upaya pemulihan ekonomi nasional juga dilakukan dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang memiliki usaha terkait dengan kepentingan-kepentingan umum.

Proses pengambilan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut juga dipandang sebagai perwujudan dari kedaulatan politik yang telah dicapai. Pengambilalihan milik asing di Indonesia secara hukum diatur dalam Onteigeningsordonanntie (peraturan penyitaan hak milik) tahun 1920, dimana perusahaan-perusahaan swasta yang mengelola kepentingan umum harus diambil alih oleh pemerintah. Dalam penerapan perjanjian KMB, pemerintah Indonesia telah mengambil alih perusahaan2 swasta peninggalan Belanda yg mengelola listrik secara lokal di banyak kota dan meleburnya ke dalam PLN (Perusahaan Listrik Negara). Demikian pula pengelolaan jaringan kereta api, yg di masa Hindia Belanda dikelola oleh perusahaan swasta, diambil alih dan dilebur menjadi Djawatan Kereta Api (DKA), yang kemudian berkembang menjadi PJKA, PERUMKA dan saat ini PT KAI.


SPBU Shell yg diambil alih, Jakarta 1958


Sektor kepentingan umum lain yang diambil alih adalah jawatan Pos Telegram dan Telekomunikasi (PTT), Djawatan Pegadaian dan Djawatan Angkutan Motor RI (DAMRI), demikian pula dengan beberapa perusahaan perkebunan Belanda yang diambil alih dan kemudian ditempatkan di bawah pengawasan Pusat Perkebunan Negara (PPN) (Dick dalam Bondan:2001).

Dalam bidang perhubungan, dibentuk penerbangan komersial Garuda Indonesia Airways (GIA) ygmengambil alih semua asset KNILM (Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij), anak perusahaan KLM di Hindia Belanda) namun tetap mempertahankan kerjasama dengan perusahaan induknya, perusahaan penerbangan kerajaan Belanda (Koninklijke Luchvaart Maatschappij/KLM). Masalah yang lebih pelik adalah pengambilalihan perusahaan pelayaran Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), karena KPM sepenuhnya memonopoli pelayaran antar pulau di Indonesia dan satu-satunya transportasi laut antar pulau.

Embrio PELNI dari SKB antara Menhub & Menteri PU tanggal 5 September 1950 mengenai pendirian Yayasan Penguasaan Pusat Kapal-kapal (PEPUSKA) sebagai respon penolakan Belanda untuk mengubah status maskapai pelayaran Belanda yang beroperasi di Indonesia, NV. KPM menjadi Perseroan Terbatas (PT).

Keinginan Pemerintah Indonesia agar kapal-kapal KPM saat menjalankan beroperasi di perairan Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih juga ditolak Belanda.

Modal awal Pepuska cuma 8 unit kapal berbobot 4.800 DWT & berlayar berdampingan dengan armada KPM tapi kalah bersaing karena armada KPM selain banyak juga memiliki kontrak monopoli.

Perusahaan-perusahaan minyak pun tak luput dari pengambilalihan, seperti BPM (Borneo Petroleum Maatschappij) dan Shell (perusahaan patungan Belanda-Inggris).

REBUTAN SIPIL - MILITER
Pada tahun 1956, PM Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara sepihak, karena Belanda dianggap bersikukuh tidak mau menyerahkan Nieuw Guinea (Irian Barat) kepada RI . Namun, pemerintah RI masih mengusahakan perjuangan diplomasi melalui Perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Hasilnya, Indonesia kembali gagal memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke dalam naungan RI dalam Sidang Umum PBB di bulan November 1957.

Kegagalan diplomasi ini segera ditanggapi rakyat dengan munculnya aksi-aksi massa menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda dan asing lainnya, yg memang diperkenankan melanjutkan usahanya selepas revolusi kemerdekaan Indonesia, sebagai bagian dari perjanjian KMB. Aksi-aksi massa ini disokong oleh partai-partai politik seperti PNI (Partai Nasional Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), dll. Organisasi-organisasi massa onderbouw partai-partai tsb terlihat proaktif menggalang massa, seperti KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis), SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

Pemerintah pun merespons keinginan rakyat tersebut. Rapat Kabinet PM Djuanda pada 28 November 1957 menghasilkan beberapa keputusan penting, termasuk memutuskan untuk mendukung pengambillalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya di Indonesia. Setelah itu, pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang bergerak di berbagai sektor seperti energi, perkebunan, perhubungan, dll semakin masif dilakukan oleh SOBSI, KBM, dan organisasi-organisasi massa lainnya.

Namun, pergolakan rakyat yang didukung pemerintah ini lantas diinterupsi oleh tindakan militer, khususnya TNI-AD yang kala itu dipimpin Jenderal A.H.Nasution, yg dgn gesit melakukan pengambilalihan terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang diduduki oleh buruh dan kaum progresif. Hampir berbarengan dengan penetapan negara dalam keadaan darurat perang (SOB) yang dipicu oleh konflik Irian Barat serta rongrongan pemberontak PRRI/Permesta, pada tanggal 10 Desember 1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang Pusat mengeluarkan perintah pada penguasa militer daerah untuk mengambilalih manajemen perusahaan-perusahaan Belanda di daerahnya masing-masing. Inilah awal mula kelahiran ‘borjuasi bersenjata’ di Indonesia, yang di kemudian hari juga dikenal dengan istilah ‘militer berbisnis’ dan semakin mewabah di era Orde Baru.

Lebih parah lagi, militer kemudian menerbitkan larangan bagi organisasi-organisasi rakyat untuk melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan konflik Irian Barat, termasuk pendudukan perusahaan Belanda. Larangan ini merupakan pukulan bagi organ-organ kerakyatan yang ingin berpartisipasi dalam perjuangan mengusir kolonialisme Belanda dari ranah ekonomi Indonesia. Hal ini mirip dengan kebjiakan reorganisasi-rasionalisasi (Re-Ra) angkatan perang tahun 1948, yang juga merupakan kebijakan yang ‘diarsiteki’ oleh Nasution, dimana laskar-laskar kerakyatan dieliminasi dari angkatan perang legal ketika ancaman agresi Belanda masih menghantui nusantara.

Melihat hal ini, pemerintah Bung Karno tidak tinggal diam dan segera bertindak untuk mengimbangi keadaan. Di awal tahun 1958, pemerintah membentuk Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) untuk menertibkan proses nasionalisasi dan meminimalisir konflik di antara komponen-komponen pendukung nasionalisasi, seperti militer dengan organisasi rakyat. Selain itu, pemerintahan Bung Karno juga menolak keinginan militer untuk tetap menjadi pengendali penuh perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi. Pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1958 yg menyatakan perusahaan-perusahaan Belanda yg telah dinasionalisasi menjadi milik pemerintah RI.

Namun, militer sebagai penguasa perang di pusat dan daerah berdasarkan status SOB tidak ingin kendalinya atas perusahaan-perusahaan Belanda itu berkurang. Karena, selain menjadi simbol tegaknya otoritas militer di bidang ekonomi, pengeloalaan perusahaan Belanda itu juga menjadi pundi-pundi keuangan baru bagi militer pusat maupun daerah. Maka, dengan alasan-alasan teknis, Nasution menolak menyerahkan kendali perusahaan kepada pemerintahan sipil, dalam hal ini Kabinet Djuanda. Tetapi, sebagai simbol masih ‘tunduknya’ militer pada pemerintah sipil, Nasution memerintahkan para penguasa perang daerah untuk ‘membantu’ pemerintah Djuanda dalam pengelolaan beberapa perusahaan yang telah dinasionalisasi tsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar