Penulis oleh Nab Bahany As
Menguak sejarah kerajaan Islam Peurlak
PERLAK, di Aceh Timur disebut sebagai kerajaan Islam pertama
(tertua) di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Kesimpulan dari Seminar
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980,
di Rantau Kualasimpang itu didasarkan pada satu dokumen tertua bernama
kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak, karangan Abu Ishak
Al-Makarani Sulaiman Al-Pasy. Itu yang menyisahkan pertanyaan bagi
sebagian sejarawan mengenai kebenaran sejarah itu.
Kitab Idharul Haq yang dijadikan sumber satu-satunya. Sebagian sejarawan
meragukannya. Apalagi kitab Idharul Haq yang diperlihatkan dalam
seminar itu katanya bukan dalam bentuk asli, tidak utuh lagi melainkan
hanya lembaran lepas. Kitab itu sendiri masih misteri, karena sampai
sekarang belum ditemukan dalam bentuk aslinya. Sehingga ada yang
mengatakan kita Idharul Haq ini hanya satu rekayasa sejarah untuk
menguatkan pendapat bahwa berdasarkan kitab itu benar kerajaan Islam
pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak.
Banyak peneliti sejarah kritis, meragukan Perlak itu sebagai tempat
pertama berdirinya kerajaan Islam besar di Aceh. Diperkuat dengan belum
adanya ditemukan artevak-artevak atau situs-situs tertua peninggalan
sejarah. Sehingga para peneliti lebih cenderung menyimpulkan kerajaan
Islam pertama di Aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Samudra Pasai
yang terdapat di Aceh Utara. Banyak bukti yang meyakinkan, baik dalam
bentuk teks maupun benda-benda arkeologis lainnya. Seperti mata uang
dirham pasai dan batu-batu nisan yang bertuliskan tahun wafatnya para
Sultan kerajaan Islam Samudra Pasai.
Keraguan para sejarawan tentang Perlak sebagai bekas kerajaan Islam pertama yang hanya mengambil dari sumber kitab Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak,
perlu ditelaah lebih jauh. Ada pengalaman ketika saya melakukan
kegiatan sosial di Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di Desa Sukajadi,
Kecamatan Bukit, tahun 1989. Ketika itu saya ditampung di rumah seorang
warga bernama Mitra. Ia pegawai negeri di Kantor Camat Kecamatan Bukit.
Rumahnya di Desa Suka Jadi lumayan besar untuk ukuran rumah desa yang
terletak di puncak bukit Suka Jadi yang mencirikan rumah khas penduduk
tanah gayo.
Naskah Idharul Haq |
Selama berada di desa itu, saya bertemu dengan seseorang yang berusia
lanjut. Tamu itu diantar kedua anaknya, dan pak Mitra selaku pemilik
rumah memperkenalkan tamu tersebut kepada saya bahwa itu adalah kakeknya
sekaligus gurunya dalam menuntun ilmu makrifat. “Namanya Tgk. Abdul
Samad, tapi kami sekeluarga dan orang-orang di Aceh tengah ini memanggil
beliau dengan nama Kek Adu”, jelas Mitra yang menambahkan bahwa
kakeknya itu adalah tokoh adat di tanah Gayo, tapi beliau sudah lama
tidak tinggal lagi di Aceh Tengah. “Beliau sekarang tinggal di Pesanten
Matang Rubek Panton Labu Aceh Utara. Hanya sesekali pulang ke Aceh
Tengah untuk menjenguk cucu dan saudara-saudaranya yang lain,” tutur
Mitra saat itu.
Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang saat itu duduk agak di sudut
ruangan, hanya sesekali mengiyakan apa yang dijelaskan cucunya kepada
saya. Kami mengobrol mulai seputar agama terutama soal makrifat hingga
masalah sejarah kerajaan Linge dan hubungannya dengan kerajaan Islam
Perlak di Aceh. Kek Adu menjelaskan panjang lebar tentang pertalian
Kerajaan Islam Perlak dengan kerajaan Linge Aceh Tengah.
Ternyata ia juga ikut dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Rantau Kualasimpang Aceh Timur itu. Maka ia pun mengeluarkan satu kitab dari tasnya. “Kitab ini namanya Idharul Haq, kemana saya pergi sekarang saya bawa, karena sedang saya alihbahasakan dari bahasa Melayu Jawi ke dalam bahasa Indonesia,” katanya sambil memperlihatkan sebagian hasil translit isi kitab itu dari huruf Jawi ke dalam huruf latin.
Ternyata ia juga ikut dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara tahun 1980 di Rantau Kualasimpang Aceh Timur itu. Maka ia pun mengeluarkan satu kitab dari tasnya. “Kitab ini namanya Idharul Haq, kemana saya pergi sekarang saya bawa, karena sedang saya alihbahasakan dari bahasa Melayu Jawi ke dalam bahasa Indonesia,” katanya sambil memperlihatkan sebagian hasil translit isi kitab itu dari huruf Jawi ke dalam huruf latin.
Saya kaget ketika ia menyebut kitab itu bernama Idharul Haq. Kitab
berukuran 30 x 25 cm yang tebalnya kira sama-sama dengan Alquran, saya
periksa. Tampak dari kertasnya sudah usang, dan saya menduga kitan itu
adalah hasil foto kopy dari kitab yang aslinya. Karena kertasnya persis
sama dengan kertas yang dipakai sekarang ini. Tgk. Abul Samad pun
mengaku kalau kitab itu adalah kopian dari yang aslinya. Alasannya
karena ia sedang melakukan penerjemahan, sehingga dikopi agar mudah
dibawa kemana pun.
Lepas asli atau tidak, bahwa kitab Idharul Haq yang pernah diragukan
keberadaannya itu sebagai dokumen yang mengungkapkan sejarah kerajaan
Islam Perlak, sedikitnya sudah memberikan titik terang. Hanya saja saya
tak diizinkan mengkopi kitab itu oleh Tgk. Abdul Samad, karena kitab
Idharul Haq itu belum selesai diterjemahkan dari huruf Arab Jawi ke
dalam huruf latin.
Menginat kitab Idharul Haq ini begitu penting dalam menyingkap sejarah
Islam di Aceh, saya pernah menemui Kepala Museum Negeri Aceh (saat itu
Drs Nasruddin Sulaiman), menyarankan agar kitab Idharul Haq yang berada
di tangan seorang tokoh adat di Aceh Tengah, dapat dicopy sekaligus
menjadi koleksi dan dokumen sejarah di Meseum Aceh. Namun saran itu tak
direspon pejabat Meseum dengan dalih, bahwa Meseum Negeri Aceh tidak
punya dana untuk mengirim Timnya menyelidiki kitab tersebut.
Menggali ulang
Kitab Tua |
Upaya Yayasan Monisa yang (saat itu) dipimpin Drs. Badlisyah yang
didukung Pemkab Aceh Timur pernah akan menggali kembali keabsahan
sejarah kerajaan Islam Perlak sebagai kelanjutan seminar tahuan 80-an.
Salah satu situs sejarah yang diteliti adalah batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah yang terdapat di komplek Bandar Khalifah, yang disebut-sebut sebagai Sulthan pertama kerajaan Islam Perlak Penggalian nisan yang dipimpin Deddy Satria, alumnus Arkeologi UGM, tidak membuahkan hasil sebagaimana diduga.
Bahwa batu nisan makam Sultan Maulana Said Abdul Azis Syah diyakini ada tulisan yang menerangkan nama yang punya makan serta tahun meninggalnya. Di nisan itu hanya berupa pahatan-pahatan yang memang agak mirip dengan bentuk tulisan-tulisan berhuruf Arab.
Salah satu situs sejarah yang diteliti adalah batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana Abdul Aziz Syah yang terdapat di komplek Bandar Khalifah, yang disebut-sebut sebagai Sulthan pertama kerajaan Islam Perlak Penggalian nisan yang dipimpin Deddy Satria, alumnus Arkeologi UGM, tidak membuahkan hasil sebagaimana diduga.
Bahwa batu nisan makam Sultan Maulana Said Abdul Azis Syah diyakini ada tulisan yang menerangkan nama yang punya makan serta tahun meninggalnya. Di nisan itu hanya berupa pahatan-pahatan yang memang agak mirip dengan bentuk tulisan-tulisan berhuruf Arab.
Menurut Deddy Satria bentuk batu nisan pada makam Sultan Maulana Abdul
Aziz Syah yang kami gali itu ada kemiripannya dengan nisan-nisan yang
terdapat di komplek makam raja-raja Samudera Pasai, dimana bentuk nisan
seperti itu diperkirakan hasil produksi antara abad ke 14 dan 15 Masehi.
Artinya, bahwa batu nisan pada makam Sultan Ala ad Din Said Maulana
Abdul Aziz Syah di Komplek Bandar Khlalifah Perlak, bukanlah bentuk batu
nisan tertua di Aceh, karena menurut Arkeolog Deddy Satria bentuk batu
nisan seperti itu juga ditemukan di komplek makam raja-raja di Samudera
Pasai Aceh Utara.
Temuan Arkeologis ini tentu sedikit mengewakan dari apa yang telah
menjadi kesimpulan seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Nusantara tahun 1980, yang menyatakan Perlak adalah pusat kerajaan Islam
tertua di Nusantara dengan Sultan pertamanya Sultan Ala ad Din Said
Maulana Abdul Aziz Syah. Karena adanya kesamaan batu nisan Sultan
Maulana Abdul Aziz Syah dengan batu nisan yang terdapat di komplek makam
raja-raja Samudera Pasai. Maka jelas Perlak sebagai kerajaan Islam
tertua diragukan.
Sekarang tinggal memburu kitab Idharul Haq, yang sebelumnya dijadikan
sumber sejarah. Kitab ini akan membuka tabir kebenaran. Maka pihak
yayasan Monisa pun memandu kami menuju Matang Rubek (sekitar 28
kilometer arah Selatan Kota Panton Labu) untuk menenui Tgk. Abdul Samad
(Kek Adu) yang pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq kepada saya 20
tahun yang lalu di rumah cucunya Desa Sukajadi Aceh Tengah. Selama 30
menit kami berhasil sampai di Pesanten, tempak Kek Adu berhidmat.
Kami langsung menemui salah seorang santri menyampaikan hasrat kami
untuk menemui pimpinan Pesantren tersebut. Karena dalam pekiran kami
yang memimpin pesantren itu adalah Tgk. Abdul Samad alias Kek Adu yang
pernah memperlihatkan kitab Idharul Haq pada saya 20 tahun yang lalu di
Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Namun setelah bertemu pimpinan Pesantren, mengatakan kepada kami bahwa beliau (Kek Adu), sudah lama meninggal dunia. Informasi meninggalnya Tgk Abdul Samad ini sekaligus memupuskan harapan kami dalam mencari kembali jejak kitab Idharul Haq yang pernah diperlihatkan Tgk Abdul Samad ketika beliau masih hidup dan bertemu saya 20 tahun lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Namun setelah bertemu pimpinan Pesantren, mengatakan kepada kami bahwa beliau (Kek Adu), sudah lama meninggal dunia. Informasi meninggalnya Tgk Abdul Samad ini sekaligus memupuskan harapan kami dalam mencari kembali jejak kitab Idharul Haq yang pernah diperlihatkan Tgk Abdul Samad ketika beliau masih hidup dan bertemu saya 20 tahun lalu di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Membongkar dokumen keluarga
Kitab Idharul Haq adalah kunci sejarah kebenaran Kerajaan Islam Perlak.
Maka awal April 2009 lalu, saya kembali menemui cucu almarhum Kek Adu
atau Tgk Abdul Samad yang tinggal di Desa Suka Jadi Aceh Tengah.
Singkat cerita saya kembali kecewa karena begitu sampai di rumah yang saya tuju di Desa Suka Jadi, ternyata cucu almarhun dari Kek Adu bernama Mitra tidak lagi tinggal di rumah yang pernah saya tinggal 20 tahun yang lalu. Rumah tersebut sudah diberikan kepada anaknya. Sedangkan Mitra sendiri (cucu dari Kek Adu) sudah lama pindah ke kota Takengen.
Singkat cerita saya kembali kecewa karena begitu sampai di rumah yang saya tuju di Desa Suka Jadi, ternyata cucu almarhun dari Kek Adu bernama Mitra tidak lagi tinggal di rumah yang pernah saya tinggal 20 tahun yang lalu. Rumah tersebut sudah diberikan kepada anaknya. Sedangkan Mitra sendiri (cucu dari Kek Adu) sudah lama pindah ke kota Takengen.
Alhamdulillah, alamatnya saya dapatkan dan kami bertemu kembali dengan
cucu Kek Adu. Namun setelah menyampaikan maksud untuk mendapatkan kitab
Idharul Haq, ternyata menurut Mitra, bahwa kitab kakeknya banyak diambil
sahabatnya di Lhokseumawe, dan kitab yang dimaksud tidak dititipkan
pada keluarga.
“Seperti kitab sejarah kerajaan Lingge, dulu ada sama kakek. Dan khusus kitab Idharul Haq ini ia tidak tahu apakah ada dalam dokumen yang telah disimpan keluarga di Isak Aceh Tengah, atau kitab itu sudah diberikan kepada sahabatnya di Lhokseumawe semasa beliau hidup,” ujar Mitra.
Dimana kitab Idharul Haq berada?
“Seperti kitab sejarah kerajaan Lingge, dulu ada sama kakek. Dan khusus kitab Idharul Haq ini ia tidak tahu apakah ada dalam dokumen yang telah disimpan keluarga di Isak Aceh Tengah, atau kitab itu sudah diberikan kepada sahabatnya di Lhokseumawe semasa beliau hidup,” ujar Mitra.
Dimana kitab Idharul Haq berada?
* Penulis anggota masyarakat sejarawan Indonesia (MSI). 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar